Sujiwo Tejo pernah berkata, yang kurang lebih seperti ini:
Menghina Tuhan nggak harus sampai menginjak-injak Kitab Suci-Nya, memainkan nama Nabi-Nya. Khawatir besok nggak bisa makan itu sudah menghina Tuhan.
Dari satu kutipan ini, bisa menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang pro dan kontra ini pasti memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang berbeda. Mereka yang berada di kubu pro belum tentu pernah mengalami kejadian yang dirasakan kubu kontra, begitu pula sebaliknya.
Waktu pertama kali saya menonton ungkapan ini di sebuah reels Instagram, saya adalah tim pro. Ekspresi saya pada saat itu, "Duh, ternyata sering sekali aku menghina Tuhanku sendiri tanpa kusadari."
Saya seakan lupa bahwa saya memiliki Tuhan yang selama memberi saya napas. Di mana Tuhan tentunya tidak hanya memberi napas, tetapi juga kesempatan hidup, dan pasti jaminan dalam hidup, salah satunya makan. Buat apa saya khawatir mau makan apa besok, jika saya memiliki Tuhan yang pasti menjamin kehidupan saya. Kalau saya khawatir/takut dengan nasib saya besok, sama artinya saya tidak bersyukur, seakan saya meragukan esensi Tuhan yang selama ini saya sembah. Namun, berhari-hari setelah menonton reels itu, saya melewati kehidupan dan beberapa problematikanya. Di hari yang entah kapan, saya menemukan kembali video reels itu dan berpindah menjadi kubu tim kontra.
Jika konteksnya berfokus pada makan, kita sebenarnya tidak tahu bagaimana porsi makanan yang dianggap mengkhawatirkan--ini pasti subjektif. Maksud saya, seseorang takut atau khawatir besok mau makan apa itu sedang berada dalam berbagai kondisi. Ada anak kos pada tanggal tua yang khawatir besok makan apa, padahal masih ada satu bungkus mi instan--makanan yang telah ia konsumsi berkali-kali selama setengah bulan. Lalu, ada pula anak kos yang memang tidak memiliki makanan sama sekali, bahkan mi instan pun tak ada. Kosnya benar-benar kosong dari makanan. Maka dari itu, ia khawatir besok mau makan apa.
Dua kondisi yang saya sebut sama-sama menunjukkan kekhawatiran "besok mau makan apa?" dengan porsi khawatir yang berbeda. Pada kondisi pertama, saya bisa menyebutnya dengan menghina Tuhan, karena ia masih memiliki mi instan untuk besok--meski itu adalah makanan yang berkali-kali ia makan. Kekhawatiran ini cenderung pada ia yang tidak bersyukur, padahal masih ada yang jauh lebih kekurangan daripada dirinya. Sedangkan pada kondisi kedua, saya tidak bisa menyebutnya dengan menghina Tuhan. Karena biar bagaimanapun, semua orang yang hidup--apalagi telah dewasa--memiliki tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Orang lain tidak akan peduli ia mau makan apa, tetapi dirinya sendiri pasti peduli. Ia merasa bahwa ia masih hidup, maka tanggung jawabnya adalah mempertahankan hidupnya, baik itu dalam hal keselamatan maupun kesejahteraan (termasuk makanan).
Maka dari itu, ia pantas saja khawatir besok mau makan apa. Kekhawatiran ini muncul karena ia merasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Ia tahu jika tidak makan sehari tidak membuatnya mati, tetapi, bukankah ia juga harus berusaha agar bisa makan di kemudian hari? Kekhawatiran ini spontan. Ia tidak bisa dipaksa bersyukur, padahal jelas-jelas ia masih bisa berusaha untuk mendapatkan makanan entah dari mana.
Alhasil, saya menjadi kontra. Seseorang boleh kok khawatir dengan hidupnya besok. Ini bukanlah bentuk penghinaan terhadap Tuhan, melainkan bukti bahwa ia bertanggung jawab sebagai manusia yang hidup. Ia harus berusaha mempertahankan hidupnya, terlepas dari apakah Tuhan masih 'bersedia' menjamin kehidupan kita atau tidak. Kita harus mempertahankan hidup atas dasar tanggung jawab terhadap diri sendiri, bukan atas dasar meragukan esensi Tuhan atau tidak bersyukur. Apalagi, kita tidak pernah tahu berapa usia kita. Jadi, khawatir tentang besok menurut saya bukan menghina Tuhan, justru cenderung pada kesombongan bahwa besok masih diberikan kehidupan. Padahal, kematian adalah takdir Tuhan yang tidak dapat diubah.
Opini ini belum selesai jika tidak ditambahi pengalaman pribadi. Hari ini juga, saya khawatir terhadap finansial saya. Lupakan soal makanan, saya masih bisa. Namun, persoalan finansial lebih mengkhawatirkan. Ada tanggungan utang yang harus saya bayar, belum lagi biaya sekolah saya, dan lain sebagainya. Tanggungan yang menuntut untuk dipenuhi banyak, tetapi uang untuk diatur itu tidak ada. Ya! Di saat saya harus membayar ini dan itu, jangankan untuk membagi jatahnya, uangnya saja tidak ada! Saya khawatir besok harus bagaimana. Bagaimana membayar ini itu yang tenggatnya sebentar lagi? Apakah saya perlu berhutang lagi? Atau sebaiknya saya lari? Tentu spontan saya akan berusaha mencari cara agar memenuhi tanggung jawab saya sebagai manusia yang merdeka. Manusia yang sudah paham apa risiko jika tidak memenuhi tanggung jawab.
Di tengah-tengah kekalutan saya dalam persoalan finansial, akhirnya saya pasrah kepada Tuhan. Tuhan saya Maha Melihat, Ia pasti tahu saya dan persoalan finansial yang sedang saya hadapi, sedangkan saya tidak tahu skenario apa yang Tuhan siapkan esok hari. Tidak perlu esok, setelah saya khawatir tadi, sore harinya, Tuhan sudah menampakkan skenario baik-Nya. Ia mengirim seseorang yang ingat bahwa dirinya memiliki tanggungan uang pada saya. Orang itu pun memberikan uang sebagai hak saya, sore itu juga. Barulah uang itu saya pakai untuk memenuhi tanggung jawab saya. Di situ, saya tercengang. Betapa Tuhan sebaik itu terhadap saya.
Setelah saya mengalami kejadian itu, pandangan saya terhadap ungkapan Sujiwo Tejo kembali berubah. Kita tidak bisa sepenuhnya pro dan kontra terhadap pernyataan di atas. Dalam bentuk lebih panjang, menurut saya, khawatir terhadap hidup adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri. Tuhan sedang menguji kita, apa langkah kita selanjutnya? Apakah karena mendapat ujian, kita tiba-tiba pasrah tanpa berusaha? Atau sebaliknya, kita berusaha keras menghadapi ujian itu, tetapi melupakan Tuhan sebagai penolong kita. Hal yang sebaiknya dilakukan adalah mengimbangi: Setelah khawatir karena mendapat ujian/masalah, kita berusaha untuk keluar dari masalah itu, tetapi juga diiringi dengan senantiasa mengingat Tuhan yang kita sembah. Jangan sampai kita melupakan-Nya. Karena seberusaha apa pun kita, hasil atau akhir dari masalah kita hanyalah Tuhan yang tahu. Kita manusia yang mendapat bagian prosesnya, sedangkan hasil, itu menjadi rahasia Tuhan yang harus kita terima sebagai wujud iman bahwa Tuhan lebih tahu mana yang lebih baik untuk kita.
"Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” Q. S. Ali Imran ayat 139
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Q. S. Al-Insyirah ayat 5-6
Komentar
Posting Komentar