Langsung ke konten utama

segala tentangmu, sudah bukan hal spesial lagi.

 Dulu. Duluuu sekali, sebelum detik aku menulis ini, mengingat segala hal tentangmu adalah hal yang menyakitkan. Mengenangmu, tentang kita yang pernah dekat, yang pernah tertawa bersama, bercanda dengan topik yang garing, hingga chatingan tengah malam. Dulu, kalau aku mengingat semuanya, aku akan sadar bahwa semua kenangan itu telah berubah. Kau bukan lagi tempat nyamanku bercerita. Kalau ada masalah, aku sudah tidak membaginya di roomchat kita berdua. Awalnya, aku sedih. Jelas sekali. 

Siapa yang tidak kepalang heran, setelah memiliki seseorang yang dianggap teman, kakak kelas, sahabat, bahkan serasa pacar, kemudian kau kehilangannya tanpa alasan yang jelas? Ragamu masih ada, tetapi kehangatan tiap aku mengobrol denganmu sudah hilang entah ke mana. Aku menyayangkan diam-mu yang tiba-tiba. Menangisi hampir setiap kenangan kita yang sudah tidak bisa terjadi lagi. Kau tahu, hampir separuh duniaku serasa hilang begitu kau tiba-tiba tidak lagi tertarik pada ceritaku. Kau juga tidak tertarik menceritakan perempuan pujaan yang kau temui di sekolah waktu itu. Kita sama-sama bungkam, dan akhirnya asing kembali. 

Satu tahun, dua tahun. Keren sekali tiga tahunku hanya dipenuhi kesedihan karena kehilangan sosok sepertimu. Selama kurang lebih dua puluh empat bulan, yang kucari adalah penggantimu. Seseorang yang sepertimu. Yang sayangnya, tidak pernah kutemukan dalam diri orang lain. Satu-satunya yang bisa membuatku tertawa karena topik sarung dan bantal hanya kamu. Satu-satunya alasanku tidur lebih dari jam delapan malam sejak kelas 2 SMP adalah kamu. Segala tentangmu terasa berharga. Dan begitu kehilangan sosokmu, sudah berada di lingkungan yang berbeda denganmu, aku mencari yang sepertimu. Tapi sekali lagi, usahaku sia-sia. Tiap menemukan seseorang yang sepertimu (suaranya, aromanya, caranya bercanda, pemikirannya) kepalaku justru tertuju padamu. Sehingga, tiap kali aku ingin berteman biasa dengan laki-laki lain, aku takut. Aku takut menganggapnya itu kamu. Dan takut juga, bagaimana kalau perpisahan diam-diam itu terulang lagi?

Dua tahun yang cukup untuk menangisi, menyayangkan, dan mengharapkanmu. Aku tidak pernah berniat melupakanmu karena itu hanya akan membuatku justru makin teringat denganmu. Makin kucoba membuang perasaan itu, makin kuat pula perasaan itu kembali. Akhirnya, aku menyerah. Kunikmati rasa sedih mendalam setelah tidak denganmu. Dan, dari sinilah keajaiban itu terjadi. Sepanjang 2020 hingga 2022, perjalananku bukanlah tentang melupakanmu. Melainkan berdamai dengan kenyataan bahwa seberusaha apa pun aku, kita tidak akan kembali. Ibarat kapal, awaknya sudah karam. Jangankan untuk kembali sebagai kapal, terapung saja sudah tidak bisa karena terjebak di dasar laut. 

Itu kita. Kau, aku, dan cerita kita sudah menjadi masa lalu yang sulit untuk diselamatkan lagi. Baik kau dan aku, kita sama-sama bingung kalau harus memulai dari awal lagi. Dua tahun membuat cara berpikir kita tak lagi sama. Humor yang dulu mengundang tawa, sekarang tidak lebih penting dari lingkungan kita masing-masing. Untukmu, ketahuilah bahwa prosesku menerima kenyataan ini memakan waktu yang cukup lama, tetapi aku puas dengan hasilnya. Setelah terbelenggu sosokmu yang tak kunjung kembali, akhirnya aku bisa rela menerima kenyataannya. Kita bukannya tidak bisa lagi bersama. Tapi segala tentang kita, sudah tidak lagi sama. Kau sudah bukan lagi kakak kelas yang menerima curhatanku tentang laki-laki kelas ujung. Aku bukan lagi adik kelas yang mengetahui bagaimana kelanjutan kisahmu dengan perempuan yang justru dekat dengan sahabatmu. 

Kalau dipaksa kembali, aku yakin bisa. Tapi, kalau kembali seperti sedia kala, itu jelas mustahil. Pemikiran kita sudah berbeda. Banyak pengalaman dan rintangan yang sudah tidak melibatkan satu sama lain. Akhirnya, kau dan aku sekadar kisah pendek yang pernah Tuhan buat, kemudian diselesaikan dengan terburu-buru. Semuanya seperti tidak baik untuk diterima. Tapi, lagi-lagi aku mau bilang: aku sudah berdamai dengan kenyataan pahit itu. Tak masalah bila kau sudah menemukan penggantiku. Tak masalah bila teman berbagi ceritamu sudah bukan aku. Justru, kini aku senang begitu tahu kau punya sahabat perempuan lain yang siap mendengar ceritamu. Bila kau tanya siapa penggantimu dalam lingkungan yang saat ini kujalani, maka jawabannya tidak ada. 

Aku belum begitu peduli dengan keseharianku yang lewat begitu saja tanpa kuceritakan pada orang lain. I'm fine with my own adventure. Dont worries about me, Dude! Aku hanya ingin kau tau, segala tentangmu, sudah bukan hal spesial lagi. Mungkin, dulu aku masih akan tersenyum kecut waktu tahu kamu tertawa dengan seorang perempuan di story Whatsapp-mu. Pernah juga terdiam setelah menonton video atau membaca tulisan acak di media sosial bahwa: banyak kisah yang dimulai dari asing, akrab, kemudian asing kembali tanpa pengakuan perasaan yang jelas. Sekarang, semua sudah tidak lagi sama. Video yang kusimpan dua tahun belakangan tidak mempan lagi membuatku sedih. Story Whatsapp dan story Instagram-mu sedang bersama perempuan lain, itu semua tidak lagi mengacaukan hatiku. Seperti yang kubilang: segala tentangmu, sudah bukan hal spesial lagi. 

Kini, kisah apa pun yang terjadi di 2023, akan kujalani tanpa perlu dipenuhi bayang-bayangmu lagi. Kau akan selalu kutaruh di bagian belakang yang tidak perlu kubuka. Kau, laki-laki nomor tiga yang membuatku jatuh hati sampai-sampai aku tak yakin apakah bisa beranjak atau tidak. Tapi, nyatanya aku berhasil. Jika dulu kau-lah yang paling spesial, maka kini kau tidak ada bedanya dengan dua laki-laki yang kutemui sebelummu. Kau dan mereka sama, pernah spesial, tetapi kini sudah biasa. 

Bila kedepannya aku masih menulis tentangmu, itu hanya formalitas. Karena biar bagaimanapun, kisah kita lumayan panjang. Sayang bila dibuang mentah-mentah, padahal masih bisa kumanfaatkan. 

Untukmu, lelaki yang disukai sahabatku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

setelah nggak sama dia, gimana rasanya?

Rasanya campur aduk. Waktu menyadari kalau perasaan itu sebenarnya ada, sedikit kecewa sama diri sendiri. Kenapa begitu jadi asing, malah baru sadar kalau jatuh hati? Kan aneh. Mau diungkapkan, kok rasanya udah nggak layak. Kalau dipendam terus, nanti ujungnya bakal gimana? Hahaha. Welcome to my story in 2019. Waktu itu saya suka sama seseorang. Dia kakak kelas. Singkat cerita, kami akrab. Lambat laun, dia jadi cuek. Entah karena UN, atau hal lain di penghujung SMP yang membuatnya jadi super sibuk. Intinya, dia jarang chat saya seperti biasanya. Sebenarnya, hal itu sudah saya prediksi jauh-jauh hari. Tapi, yang namanya asing setelah akrab, siapa sih yang siap? Itulah yang saya rasakan.  Setelah tidak dengannya, saya kesepian.  Jujur, dia lelaki pertama yang saya ajak bercanda paling jauh. Dia satu-satunya lelaki yang menjadi tempat cerita saya di 2019. Namanya di notifikasi bisa membuat jantung saya berdebar. Rasanya senang sekali kalau tahu dia membalas pesan saya. Candaannya tidak pe

Saat Silsilah Keluarga Mempertemukannya dengan Adonan Biang

Pernahkah kamu berpikir, ketika kamu berada di pemakaman etnis Tionghoa, dan seseorang yang baru saja dikubur telah mewariskan adonan roti kepadamu? Judul: Madre Penulis: Dee Lestari Penerbit: Bentang Pustaka Terbit: 2015 Jenis: Novelet Jumlah halaman: v+46 hlm. *** Madre adalah fiksi ringan. Bercerita tentang Tansen Wuisan, lelaki 'bebas' yang diwarisi adonan roti oleh kakeknya, Tan Sie Gie. Silsilah keluarganya berubah drastis saat tahu bahwa neneknya menikah dengan etnis Tionghoa, bukan orang Tasikmalaya seperti yang ia ketahui.  Tansen dibawa ke sebuah alamat di Jakarta. Tempat itu adalah toko roti yang sudah tidak lagi beroperasi. Di sana, Tansen bertemu Pak Hadi, mantan pekerja kakeknya. Pak Hadi memperkenalkan Madre, adonan roti yang diperlakukan selayaknya anak sendiri.  Pak Hadi mengajarkan Tansen bagaimana 'merawat' Madre. Baru sehari, Tansen sudah keheranan dengan hidupnya yang aneh ini. Untuk mencurahkan perasaannya, Tansen menulis di blog. Sebua